Sabtu, 30 Juni 2012

Baratketigo, The Missing link Fall of Majapahit and Rise of Islam Jawa


Bila melintas di kota Tuban dengan bus, kita akan menjumpai sebuah area parkir wisata rohani yang berdekatan dengan komplek Pasar Baru (tapi lama) Tuban. Tulisan yang terpampang di area itu adalah Tempat Parkir Wisata Sunan Bonang. Di mana para peziarah atau peserta wisata ziarah melanjutkan perjalanan menuju komplek makam Wali yang bergelar Sunan Bonang, dengan menggunakan becak sebagai sarana angkutan. Tentu saja ratusan becak berbaris (tak) rapi berebut penumpang uintuk mengantarkan mereka ke jarak yang tak berapa jauh, mungkin kurang dari setengah kilometer dari tempat bus parkir. Ya.. makam Wali Sunan Bonang inilah yang kini menjadikan Tuban sebagai salah satu tujuan dari wisata ziarah sembilan Wali atau lazim disebut Walisongo, dan masyarakat Tuban boleh berbangga bila kota mereka disebut sebagai Bumi para Wali.
Setidaknya ada dua tokoh besar di era sembilan Wali, yaitu Sunan Bonang yang konon berasal dari wilayah Cina dan seorang pensyiar asli Tuban yaitu Kanjeng Sunan Kalijogo atau yang pada masa mudanya bernama Raden Mas Sahid. Beliau berdua boleh dibilang adalah tokoh penting era penyebaran syiar Islam gelombang kedua di Tanah Jawa. Namun Kita tidak akan membahas tentang beliau berdua serta petilasannya.

Bergerak sekitar 2,5 km ke arah selatan area parkir bus di pembicaraan awal tadi, kita akan menemui rangkaian situs yang saling terkait yang sesungguhnya merupakan tonggak penting dari kebangkitan Islam di Jawa. Rangkaian Situs ini merupakan bukti penting bahwa syiar islam gelombang pertama tidaklah melalui jalan yang berdarah seperti beberapa pertempuran yang harus dilewati saat pendirian kerajaan Islam Demak, Pajang maupun Mataram Islam. Meskipun saat syiar islam gelombang pertama ini harus berhadapan dengan sebuah kerajaan yang (pernah menjadi) terbesar di Nusantara. Islam berkembang bersamaan dengan era kemunduran dari Majapahit.

ruang cungkup makam Syeh Siti Jenar

kendi air minum untuk para musyafir

Di negeri yang punya kebiasaan membelok-belokkan sejarah demi kepentingan hegemoni kekuasaan tertentu memang menjadi susah menilai sejarah mana yang paling benar. Namun yang paling penting kita boleh belajar merunut sejarah melalui bukti-bukti dan petilasan yang ditinggalkan. Tentu saja mungkin yang lebih representatif tentang sejarah satu tokoh adalah pola sikap fikir dan keteladanan yang diwariskan dan tetap tumbuh di masyarakat setempat.

Tokoh penting yang sengaja dikaburkan adalah pengusung aliran Islam Sufi Jawa. Pangeran Gedong atau disebut Syeh Siti Jenar. beliaulah menegaskan konsep egaliterian sesungguhnya di Tanah Jawa. Di mana konsep kesetaraan inilah yang sebenarnya konsep penting dalam Islam. Namun pada masa itu ternyata syiar Islam di wilayah lain di Jawa menganut konsep kelembagaan demi perkembangannya. Slogan "Sabdo Pandito sabdoning Ratu" membawa kecenderungan pensyiar masa itu cenderung menggunakan pendekatan kekuasaan untuk mengembangkan syiar. karakter kebanyakan masyarakat Pantura yang suka memberontak menyebabkan kelompok pensyiar tertentu condong pada kekuasaan keraton dan para bangsawan. yang tentu saja tidak sepaham dengan konsep egalitarian. Kekuasaan membutuhkan konsep superior dan inferior, penguasa dan hamba, narendra dan kawula, penakluk dan taklukan. Maka kemudian konsep Islam egaliter yang awalnya lebih lama berkembang di Tanah Tuban menjadi tidak populer di kalangan penguasa kerajaan Islam di Jawa. Seperti beberapa kisah yang diturunkan kemudian, ada beberapa versi yang menceritakan bagaimana Syeh Siti Jenar dan ajarannya harus 'dipinggirkan'.

Baratketigo, the missing link... 

Di manakah letak kisah tokoh ini ?
Di seberang kampung dari letak situs makam Syeh Siti Jenar, terdapat rangkaian situs yang cukup penting yaitu Makam Sunan Bejagung Lor dan Sunan Bejagung Kidul. Kata Bejagung sebenarnya berasal dari Maja-agung. konon di wilayah itu banyak terdapat pohon buah maja yang berukuran sebesar buah jeruk bali. Kini pohon itu sudah langka, hanya terdapat beberapa saja di wilayah Tuban salah satunya bisa dijumpai di komplek wisata Prata'an kecamatan Parengan

Gerbang komplek makam Sunan Bejagung Kidul

petilasan saka sanga

Petilasan makam Sunan Bejagung Kidul sesungguhnya adalah makam pewaris terakhir tahta Majapahit bernama Pangeran Pengulu yang kemudian menjadi menantu dari pensyiar Islam dari Hadramaut bernama (mbah) Ashari yang memiliki padepokan di wilayah bernama Maja-agung atau oleh masyarakat disebut Bejagung dan wilayah itu menjadi ka-Sunanan. Maka tak heran beliau di sebut Sunan Bejagung. Kisah kisah samar menyelimuti areal situs tersebut. semisal saka sanga, petilasan fondasi pilar masjid yang konon dinding dan atapnya hilang secara ajaib akibat ucapan sang Sunan yang murka karena tak ada yang sembahyang di dalam masjid.

paseban beralas pasir di komplek Bejagung Lor

cungkup makam Mbah Ashari

Pasca kegagalan kampanye daup ageng Majapahit - Parahyangan, pangeran Pengulu menyingkir ke wilayah Tuban. lalu kemudian "nyantrik" di padepokan Mbah Ashari dan belakangan malah menjadi menantu dari pemimpin padepokan tersebut, belajar islam dan malah menjadi pensyiar dengan gelar Sunan Bejagung pula. Mbah Ashari inilah yang mengajarkan tentang konsep kesetaraan dalam Islam. sebuah konsep yang sangat tabu bagi kaum bangsawan. Konon Sunan Bejagung, tidak memakai jubah dalam penampilannya namun selalu memakai pakaian yang biasa dipakai kaum petani.. tidak jelas apakah Sunan Bejagung Sepuh atau Muda dimungkinkan memang awalnya Sunan sepuhlah yang memiliki kebiasaan ini, mengingat ajaran kesetaraanlah yang beliau ajarkan.

Baratketigo sesungguhnya adalah nama alias dari tokoh besar Majapahit. Konon adalah Paman Mahapatih Gajah Mada itu sendiri yang menerima final assignment menjemput sang pewaris tahta. Trauma kegagalan ekspedisi Parahyangan yang mengakibatkan perang Paregreg dan dipermalukannya Majapahit rupanya masih membayang-bayangi Gajah Mada. Maka ia perlu melembutkan penampilannya. Melepas semua atribut kebesaran dan menggunakan nama samaran Baratketigo  nama yang dipilih adalah nama angin taifun laut Jawa yang sangat ditakuti nelayan. Seorang tokoh sebesar Mahapatih tak mungkin tanpa pengawalan pasukan besar. Pada saat itu di daerah Tuban terdapat pasukan elit yang menunggang gajah yang memiliki basis pelatihan di wilayah Leran Wetan (Lihat tulisan "Biarkan batu-batu berbicara 2" ). Saat barisan pasukan ini menuruni lereng perbukitan kapur Gunung Panggung dan memasuki dusun Ngemplak Bejagung, kepanikan pun melanda. Masyarakat mengira bahwa pasukan penyamun yang akan menyerang padepokan. Barat Ketigo pun menyadari maka ia meminta pasukannya turun dari gajah dan menyembunyikan gajah-gajah itu lembah. yang terletak di antara Gunung Panggung dan dusun Ngemplak Bejagung.

Sunan Bejagung yang keluar karena laporan adanya pasukan penyamun mengendarai gajah,  mencoba mencoba menenangkan massa yang panik. Beliau mengatakan bahwa tidak ada orang atau pasukan yang mengendarai gajah namun hanya segerombolan orang yang duduk di atas batu. Tentu saja saat diucapkan tak lagi terlihat ada seekorpun gajah. Dan untuk memastikan bahwa tak ada satupun orang yang bisa menyerang padepokan mereka, sang Sunan menggoreskan (jawa : garet) garis panjang di tanah sebelah barat tanah lapang tempat batu-batu besar itu berada. Kini lokasi batu-batu  tempat pasukan elit Bhayangkara itu duduk-duduk dinamai "Watu Gajah" dan "Siti Garet". uniknya dari jauh memang batu-batu itu terlihat seperti sekumpulan gajah dan yang lebih aneh lagi setiap kemarau, tanah di sebelah barat lapangan akan pecah mengering membentuk pola garis lurus sepanjang beberapa puluh meter

makam panjang petilasan Baratketigo perhatikan ukuran panjangnya


Menyadari kepanikan yang ditimbulkan, akhirnya Baratketigo sendirian yang berangkat memasuki padepokan untuk menjemput sang pewaris tahta. Lazimnya sopan santun pada masa itu pembicaraan penting selalu disamarkan dalam bentuk sandi dan perumpamaan. Sunan Bejagung bertanya kepada Baratketigo ada perlu apakah sehingga menimbukan kegaduhan ? "Aku haus  maka aku ingin memetik kelapa muda (ngunduh degan)". lalu Sunan Bejagung menjawab, "bila engkau ingin memetik kelapa muda jangan kau goncangkan pohonnya, nanti yang tua ikut turun. Tapi bengkokkanlah pohonnya dengan cangkul niscaya engkau akan mendapatkan kelapa mudanya" Makna dari kalimat ini adalah : kalau engkau ingin mendapatkan yang muda (Sunan Bejagung Muda yang adalah putra mahkota ) tak perlulah membuat kegaduhan dan kepanikan, nanti yang tua (Sunan sepuh) akan ikut menghalangi. Tapi gunakanlah kerendahan hati seperti kerendahan hati para petani. kalimat ini juga berarti undangan secara personal kepada Baratketigo untuk bertamu di padepokan kasunanan Mojoagung. 

Setelah akhirnya bisa berdialog dengan putra mahkota atau Sunan Bejagung muda, dan sempat mendapatkan wacana-wacana baru tentang hidup darinya. Namun ia tak berhasil membujuk putra mahkota untuk pulang ke Majapahit dan mewarisi tahta. Baratketigo mengatakan demikian kepada Sunan sepuh "Telah kuminum habis air kelapa muda ini, namun aku masih haus" dan Sunan sepuh pun menjawab "Hai Baratketigo, aku akan memberimu minum air dari dalam buah Mojo yang ku-korek (jawa : kurek) ini. minumlah, niscaya kamu tak  akan haus lagi" tentu saja kalimat ini membingungkan. Namun kalau dikupas lebih jauh, dialog ini berarti bahwa Baratketigo tidak cukup puas dengan dialog yang dilakukannya dengan putra mahkota. Dan ia ingin berdialog dengan sang mertua. kalimat balasan dari Sunan sepuh mengandung arti ajakan kepada Baratketigo untuk mempelajari ilmu hidup di Mojoagung (Bejagung) melalui Qur'an. Inilah arti dari buah mojo yang "di-kurek". Saat Baratketigo menyetujuinya maka ia meletakkan dan melucuti segala kebesarannya sama seperti sang putra mahkota dan menjalankan prinsip egaliter sesuai Islam. tentu saja ini diikuti oleh sebagian besar pasukan yang ia bawa. Di sinilah tonggak dari berhentinya sejarah waris Majapahit. 

Sebuah keputusan bijak, dengan demikian Majapahit tidak akan pernah runtuh ataupun punah karena peperangan, namun kesurutannya hanyalah jalan menuju kebesaran masa baru. Masa Islam di tanah Jawa. bukan dinasti Islam, tapi Islam egaliter yang begitu cepat tumbuh berkembang di tanah Jawa. konsep inilah yang sesungguhnya dirindukan orang jawa. Setara di depan Tuhan dan sesama. Dan sebagai seorang muslim, Baratketigo alias sang Mahapatih dimakamkan layaknya seperti kebanyakan muslim, tanpa tanda kebangsawanan di cungkup makamnya.  kalaupun ada petilasan makam panjang, dimungkinkan itu adalah tempat senjata (pedang lentur panjang khas kerajaan Colamandala India) ditanam. Namun banyak diyakini meski bukan kubur itu, Baratketigo diduga dimakamkan di sekitar komplek makam itu, hanya tidak ada tanda nisan yang tersisa. Walahualam

Bagaimana dengan versi Gajahmada itu moksha ? sangat wajar bila seorang tokoh besar meninggalkan dan menanggalkan jabatan dan kebesarannya maka ia akan menerima resiko dianggap tiada oleh para pembesar yang ambisius di Majapahit yang mengincar jabatan sang Mahapatih. dan inilah pilihan bijak untuk "pensiun" dengan damai.. sejarah yang diwariskan biasanya lebih condong pada kekuasaan. Kebetulan pula makam raja Majapahit terakhir juga tak jauh dari rangkaian situs di atas. masyarakat menyebutnya "makam Brawijaya" 

Majapahit dilahirkan dan berakhir di tanah sepuh pendahulunya... dan era Jawa baru, era tanpa kasta dilahirkan di sini... di Tanah tandus Tuban....

Ngemplak - Sidorejo, 2012

untuk kampung halamanku...




Tidak ada komentar: